78 Tahun Merdeka, Kepada siapa kita menyandarkan diri?

78 Tahun Merdeka, "Kepada siapa kita menyandarkan diri?"
Oleh Arief Dharmawan
78 Tahun usia kemerdekaan Indonesia agaknya telah cukup bagi kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai keindonesiaan agar tidak terkekang dan terkikis dimakan zaman.
Bagaimana tidak? Sudah lebih dari setengah abad, Indonesia berdiri di atas kemerdekaannya sendiri. Semenjak teks proklamasi dikumandangan dan disebarkan di seluruh pelosok Nusantara oleh bapak Ir. Soekarno dan didampingi bapak Moh. Hatta. Indonesia telah resmi meniadakan semua bentuk penjajahan diatas bumi pertiwi. Nilai-nilai dalam teks kemerdekaanlah, yang terus kita bawa dalam mewujudkan kebahagiaan dengan kesamaan Visi dan Misi bangsa.
Banyaknya tantangan-tantangan dalam tatanan global, tentunya terus akan memaksakan kita agar bisa hidup berdampingan dengan kemajuan, terus berinovasi ditengah perkembangan, terus bergerak dengan cara yang lebih relevan dan terus kreativitas tanpa mengenal batasan. Dorongan itulah yang mesti kita pikirkan bersama agar kita tidak sirna dalam pergulatan persaingan.
Kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa usia kemerdekaan bukanlah jaminan untuk seluruh warga menuju kemaslahatan. Masih banyak bukti untuk meyakinkan hal tersebut. Baik di bidang Ekonomi, Sosial, Budaya dan Teknologi. Problematika-problematika yang ada sampai hari ini mestinya harus segera kita waspadai agar bisa menyiapkan berbagai alternatif bagian dari sebuah solusi. Karena sebagian dari kita tidak akan menemukan jawaban dari momok pertanyaan "Kepada siapa kita menyandarkan diri?".
Jadikan itu acuan untuk kita kembali menyadari, membenahi, kemudian memperbaiki. Sebab, semua hasil akhir selalu bermuara pada apa yang kita jalani hari ini. Perbanyak asah diri, kenali kemampuan diri, sadarilah peluang sejak dini, upayakan integritas diri, manfaatkan semua potensi, hauslah dalam mengepakkan lini.
Usia kemerdekaan Indonesia bukanlah sebuah alarm yang berlaku untuk bangsa saja. Namun, berlaku pula bagi kita yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa. Memilih untuk purna atau justru menuju lebih bermakna?