Cerpen  Arif Al Ikhsan :   Memori Di Antara Desingan Pelur

Cerpen  Arif Al Ikhsan :   Memori Di Antara Desingan Pelur

 

Hari yang ditunggu pun tiba. Aku bersama pasukan sudah siap untuk bertempur. Kami berniat untuk menyerbu pos keamanan tentara Jepang di sebelah barat desa yang berbatasan dengan sungai.

Semula ada rasa khawatir yang merambati dada. Namun rasa itu kemudian sirna demi melihat semangat teman-teman yang berkobar dalam pasukan.

Lima pasukan Jepang berhasil kami tumbangkan sekaligus dengan alat seadanya. Hanya bambu runcing dan parang yang jadi senjata mematikan kami.

"Markas mereka ada di sebelah barat. Kita berpencar. Yang ada di belakangku, kita pergi ke arah utara. Dan yang ada di belakang Mas Daryat, pergi ke arah selatan," ucap Mas Komar selaku komandan memberi aba-aba.

Aku pun pergi ke arah selatan sesuai arahan Mas Komar. Dengan memutar jalan dari hutan tempat pos Jepang tadi ke gudang belakang markas. Sebuah parang berlumuran darah terhunus di tanganku. Darah tentara Jepang yang tadi kutebas.

"Dengarkan aku baik-baik, jangan pernah ragu untuk menyerang. Terapkan hasil latihan kita sekarang. Buktikan bahwa meski kita rakyat biasa, kita pun bisa berjuang untuk meraih kemerdekaan. Karena ini adalah tanah kita, tanah tumpah darah kita," kataku memberi motivasi saat pasukan kami sudah berada tidak jauh dari pintu gudang.

Setelah memberi aba-aba dan bersiap, pasukan kami mulai memasuki gudang markas. Tampak di dalamnya beberapa bom ditaruh dengan rapi. Dalam penyerangan ini, kami mengatur strategi dan berbagi tugas. Aku dan Mas Parno akan membunuh pimpinan mereka.

Sambil mengendap-endap dan menunggu pimpinan musuh datang, ada rasa benci dan marah yang memuncak. Betapa tidak, kami merasa ditipu dan diperdaya. Orang-orang Jepang itu semula menganggap dirinya sebagai cahaya, pelindung, dan pemimpin Asia. Saudara yang kami harapkan akan membebaskan kami dari bengisnya penjajahan Belanda. Namun kenyataan sebaliknya. Kedatangannya hanya semakin memperburuk kehidupan kami. Kedatangan mereka hanya untuk mengeruk kekayaan alam negeri kami. Dan menjadikannya sebagai modal dan markas cadangan mereka selama Perang Dunia II.

Sudah tentu niat buruk itu kami tentang. Aku dan para warga desa berusaha untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Semua warga desa saling bekerjasama untuk mengusir kolonial Jepang yang membuat kami sengsara. Kami ingin agar mereka segera pergi dari negeri kami.

Beruntung aku pernah belajar pencak silat dari kakek Jogonegoro. Kepandaian ilmu bela diri itu aku ajarkan kepada para pemuda desa yang saat itu rata-rata berusia 17 tahunan. Harapannya itu bisa menjadi alat untuk melumpuhkan musuh kaum kolonialis.

Sedangkan ibuku dan ibu-ibu desa lainnya diberikan tugas mengurus konsumsi. Mereka membikian semacam dapur umum. Di samping menyiapkan makanan, minuman dan kebutuhan konsumsi pasukan kami, mereka juga memberikan motivasi dan pembinaan kepada para remaja putri desa kami. Dengan demikian gadis-gadis desa ini pun bisa turut mendukung perjuangan. Termasuk di dalamnya Minarti, kembang desa yang banyak menyita perhatian para pemuda desa. Entah ada getar hati setiap mendengar nama itu disebut.

Tiba-tiba seorang pemuda menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Katanya ia telah berhasil mengecoh para tentara Jepang. Artinya, itu saatnya aku dan Mas Parno harus memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaiknya. Di luar terdengar suara tembakan dan desing peluru yang bersahutan.

Aku dan Mas Parno segera berlari ke lantai atas tempat dimana pimpinan tentara Jepang berada. Begitu kami masuk, bak pucuk dicinta ulam pun tiba. Kesempatan yang kami tunggu itu berperaga di hadapan kami.

Pimpinan tentara Jepang itu sedang menyaksikan bagaimana pasukan kami dengan alat seadanya berusaha melawan pasukannya. Terkesan bagaimana ia memandang remeh kami pemuda kampung yang tak berpengalaman. Sementara mereka pasukan Asia Timur Raya yang berpengalaman dan dilengkapi senjata canggih. Bahkan sewaktu-waktu ia siap untuk meledakkan bom jika diperlukan.

"Sttt … kau ambil ini. Jika Aku ditikam atau ditembak mati olehnya, kau lanjutkan perjuangan bersama kawan-kawan," kata Mas Parno berbisik sambil memegang bahuku dan tersenyum. Ia lalu mengendap menyelinap ke arah ruangan si pimpinan tentara Jepang itu.

Ouhh! Darah menyembur mengalir deras memerahkan lantai. Aku yang bersembunyi di balik lemari kayu di sebelah ruangan mendengar suara keributan itu. Dalam hati aku berdoa, agar pimpinan tentara Jepang yang mati. Bukan Mas Parno.

Perlahan suara langkah kaki mendekat ke arahku. Ada rasa dag dig dug yang menghentak di dada. Bilah clurit yang terhunus di tangan terasa bergetar. Jika ini akhir dari hidupku biarlah. Aku akan merasa bangga bahwa aku melakukan ini untuk negaraku.

Langkah kaki itu kian mendekat. Dan jleb!

Clurit yang kupegang menancap dengan kuat di perut sang Jenderal. Darah mengalir dari perut dan mulutnya. Pedang samurai di tangannya terlepas. Ia menggeram lalu jatuh tersungkur.

Dengan perasaan campur aduk, aku segera berlari menghampiri Mas Parno. Ia terbujur bersimbah darah. Bibirnya bergetar seperti ingin berkata-kata. Dengan cepat aku menggendongnya dan segera meninggalkan markas tentara Jepang.

Ada sesal atas apa yang menimpa Mas Parno tetanggaku. Toh bagaimanapun pemuda kampung yang pemberani itu telah melakukan yang terbaik bagi negeri ini. Setidaknya perjuangan kami tidak sia-sia.

Malam itu, alhamdulillah aku pulang dengan selamat bersama dengan 17 pemuda lainnya yang masih bisa bertahan. 6 di antara kami mengalami luka yang cukup parah. Sedang 9 pemuda gugur sebagai bunga bangsa termasuk Mas Parno dan Komandan Komar.

Mereka yang gugur, akan selalu kami kenang sebagai pahlawan. Pahlawan untuk negeri kami. Pahlawan yang telah membebaskan rakyat dari jerat penjajah. Pengorbanannya senantiasa terpatri dalam tinta emas sejarah.

Sepekan kemudian ada utusan dari pimpinan pusat. Mayor Rahmadi memberi apresiasi atas segala perjuangan dan pengorbanan kami. Ia pun menyampaikan penghargaan kepada kami para pejuang muda. Ia menyebut namaku dan memintaku menjadi komandan belia yang bertugas memimpin para pejuang muda. Sebuah tugas mulia yang tentu tidaklah mudah.

Tak lupa Mayor Rahmadi juga menyampaikan terima kasih atas dedikasi kaum ibu serta para remaja putri yang turut membantu perjuangan. Nama Minarti turut disebut yang mendapat penghargaan khusus. Gadis berambut kepang dan berlesung pipit itu membayang.

Entah kenapa hati ini tiba-tiba jadi rusuh dag dig dug tak karuan. Seperti berdiri di antara desingan peluru tentara Jepang.

 

* * * *